Surat, July 30th 2011
July, what's wrong with July? It's a magical day for me. And I will tell you a story about what happened on my 16th birthday on July 30th. A story about friendship, when your best friend who you thought would support you no matter what, couldn't come to your birthday and a friend that you thought just a friend, was the one who gave you the strength and made a smile to your face. July is my favorite month, and even if it's November now, I suddenly remembered this event. Because it bring smile to my face, as I grown up, and learn many thing. The memory remains, and it engraves in my heart.
Aku menatap sudut kamarku dengan dahi berkerut. Ya ampun! Kapan terakhir kali aku membereskannya? Kamar yang biasanya rapi ini sekarang terlihat benar-benar tidak beraturan. Baju, celana jeans, jaket, bahkan piyama yang sudah pernah aku pakai menutupi kursi meja belajarku. Buku-buku yang semestinya ada di meja belajar sekarang tertumpuk di kasurku. Aku melihat sebuah tas kecil dan boneka di kolong kasurku. Kertas-kertas yang entah apa isinya berceceran di sekitar ruangan, menambah kekacauan yang jarang terjadi ini. Aku pernah membaca sebuah cerita tentang anak laki-laki yang begitu malas membereskan kamarnya sehingga dia kesulitan bergerak akibat barang-barang yang berceceran di sekitar kakinya. Ibunya menyebut kamar itu sebagai kapal pecah. Keaadaan kamarku memang tidak separah itu, tapi tetap saja aku merasa kurang nyaman. Aku tidak ingin kesulitan bergerak di kamarku sendiri.
Aku menatap sudut kamarku dengan dahi berkerut. Ya ampun! Kapan terakhir kali aku membereskannya? Kamar yang biasanya rapi ini sekarang terlihat benar-benar tidak beraturan. Baju, celana jeans, jaket, bahkan piyama yang sudah pernah aku pakai menutupi kursi meja belajarku. Buku-buku yang semestinya ada di meja belajar sekarang tertumpuk di kasurku. Aku melihat sebuah tas kecil dan boneka di kolong kasurku. Kertas-kertas yang entah apa isinya berceceran di sekitar ruangan, menambah kekacauan yang jarang terjadi ini. Aku pernah membaca sebuah cerita tentang anak laki-laki yang begitu malas membereskan kamarnya sehingga dia kesulitan bergerak akibat barang-barang yang berceceran di sekitar kakinya. Ibunya menyebut kamar itu sebagai kapal pecah. Keaadaan kamarku memang tidak separah itu, tapi tetap saja aku merasa kurang nyaman. Aku tidak ingin kesulitan bergerak di kamarku sendiri.
Aku mulai mengambil pakaian yang tertumpuk di kursi.
Sebagian aku lipat dan sebagian lagi aku gantung di paku. Buku buku yang
sebagian merupakan buku pelajaran dan sebagian lagi adalah buku adikku aku
simpan kembali pada tempatnya. Aku mengambil kertas-kertas, memilahnya, lalu
sebagian aku buang ke tempat sampah dan sebagian lagi aku taruh di map. Aku
menepuk-nepuk debu yang ada di tas dan juga bonekaku, debu dari kedua benda itu
membuatku bersin dan kelilipan. Setelah itu aku mencuci tanganku dan duduk di kursi
meja belajarku.
“Aw!” jeritku. Sesuatu menusukku saat aku duduk tadi. Benar
saja, aku menemukan sebuah pin yang menyangkut di kursi. “Wow. Aku tidak
melihatmu tadi. Kemana kau saat sesi pembersihan?” tanyaku pada sebuah pin,
yang tentu saja tidak akan menjawab. Aku berdiri dan membuka sebuah laci kecil
yang transparan dan menyimpan pin di bagian aksesoris. Sesuatu menarik
perhatianku. Aku melihat sebuah kertas yang berada di bawah tempat aksesoris
itu. Lalu aku membuka laci dan mengeluarkan kertas misterius itu. Perlahan aku
mulai mengingat kejadian itu di benakku.
Beberapa bulan yang lalu…
“Besok tuh 30 Juli kan ya?” aku
membaca sebuah pesan singkat dari Tazkia. Sahabatku itu entah bagaimana selalu bisa
membuatku tersenyum dengan kepolosannya yang terlalu polos.
“Iya. Hari sabtu
tanggal 30 Juli 2011.” balasku. Tidak
lama kemudian HPku kembali bergetar. “Perasaan
besok kaya ada sesuatu gitu deh.” balas Tazkia. Dia membalas dengan terlalu
cepat.
“Emang. Malam
minggu, waktunya jomblo tidur di rumah. wkwkwk” candaku.”Fatfat -.- makin tua mau makin ga peka gitu
ya?“ aku terkikik saat membaca balasannya dan langsung mengetikkan balasanku. “Eh, Taztaz jangan pundung gitu deh. Haha. Wah, nambah umurnya juga
besok tau :P” aku bisa membayangkan Tazkia dengan muka dinginnya membaca
pesan-pesanku lalu tersenyum singkat. Bisa jadi dia tidak tersenyum sama sekali.
Dia itu seperti Putri Salju dalam kehidupan nyata. Putri salju yang terlalu polos
dan dingin. Sayang sekali sekarang dia sedang ada di Jambi dan tidak bisa ikut
jalan-jalan besok.
Aku banyak tersenyum, tidak sabar bertemu dengan
sahabat-sahabat dari SMPku. Banyak hal tentang SMA yang perlu aku ceritakan
pada mereka dan banyak hal yang ingin aku tanyakan pada mereka. Kami terlalu
sibuk sehingga kami jarang sekali bertemu. Sudah beberapa bulan berlalu sejak
terakhir kali bertemu dengan mereka. Aku benar-benar merindukan kegilaan
mereka.
Malam harinya, aku mengirim sms pada sahabat-sahabatku. “Besok jadi ya kawan-kawan ;)” Saat itulah aku mendapatkan balasan yang tidak
aku harapkan. Sahabat dekatku sejak lama yaitu Neneng, Leila, dan Risa tidak
bisa hadir. Aku benar-benar kecewa, mereka sudah bilang mereka bisa
mengusahakan untuk main saat ulangtahunku nanti, nyatanya mereka tidak bisa. Aku
kecewa, sungguh. Ulang tahunku hanya terjadi setahun sekali. Tidak bisakah
mereka hadir? Aku benar-benar merindukan mereka.
Baiklah, setidaknya mereka punya alasan. Salah satu temanku,
Risa, berkata bahwa ayahnya tidak bisa mengantar dan menjemputnya sehingga dia
tidak jadi ikut. Aku sempat berfikir, apa rumahnya sejauh itu?
Hal ini membuat pikiranku tidak stabil. Aku harus melakukan
pencerahan. Aku mulai berfikir sejernih orang gunung.
Fathia, egois itu ga baik. Berprasangka buruk itu ga baik. Mereka adalah sahabatmu dan sahabatmu tidak selamanya bisa berada di sampingmu. Kadang kau hanya perlu berpisah untuk waktu yang cukup lama sehingga ketika bertemu, pertemuan itu akan terasa lebih berharga.
Aku tersenyum ketika membaca tulisanku sendiri. Ya, mungkin bukan
saatnya kita bertemu lagi, pikirku. Mereka pasti sibuk. Aku tidak bisa egois. Lagi
pula, ulang tahun hanyalah pertambahan umur, tempat aku seharusnya menjadi
lebih dewasa, Aku merasa bersalah telah berpikiran buruk terhadap sahabatku.
Aku membalas sms mereka dan berkata lain kali kita main yaaa..
Setelah itu aku melihat sms dari orang-orang yang bilang
bahwa mereka bisa ikut. Fajri, Aldi, Regina, Zalfa, dan Khoirunnissa. Oh, cukup
banyak. Tapi, tunggu sebentar. Aku membaca kembali sms dari Nissa dan dia
berkata bahwa dia akan membawa pacarnya. Pacarnya! Ooh, tidak! Ini bencana! Aku
jutek pada lelaki yang tidak aku kenal. Hal ini bisa membuat suasana menjadi
canggung. Bagaimana ini? Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
“Fat, dimana?” aku
mendengar suara Regina dari seberang telepon.
“Masih dirumah.”
jawabku.
“Eh, dasar kita bentar
lagi sampe Nata Endah nih.”
“Waduh, serius? Yaudah
kalian turun aja di depan puskesmas aku kesana sekarang.”
Aku menutup telepon dan
aku bergegas pergi ke depan puskesmas. Saat aku mencapai jalan raya, aku
melihat 4 orang yang aku kenal sedang berdiri di trotoar.
“FATHIA!” seruan
Regina membuatku kaget. Aku menyerukan namanya juga dan kami melepas rindu
dengan berpelukan. Aku melakukan hal yang sama pada Zalfa. Fajri, teman
lelakiku yang konyol merentangkan kedua tangannya seakan meminta untuk diberi
pelukan. Aku tersenyum.
“Gila kamu Ji.”
kataku. Aku mengulurkan tanganku dan menyalami tangannya.
“Ga dipeluk?” kata
Fajri dengan konyol.
“STRESS.” balasku dan
kamipun tertawa.
Aku menjabat tangan Aldi juga dan menanyakan kabarnya. Dia
adalah orang yang menyebalkan, cerewet seperti wanita dan sangat keras kepala.
Tapi bagaimanapun juga dia tetap sahabatku.
Kami naik angkot dan menuju ke salah satu mall besar di
Bandung bernama Istana Plaza. Nissa pergi naik motor dengan pacarnya. Kami
berencana untuk menemui Nissa di toko buku Gramedia. Aku masih sedikit khawatir
soal pacarnya, tapi aku yakin pacarnya pasti orang baik. Jadi, aku berusaha
untuk tampil sebiasa mungkin tanpa kejutekan.
Setelah kami ber-5 tiba di toko buku, aku langsung melihat
seorang gadis putih dan tinggi yang memakai gaun cantik bersama dengan…
ayahnya? Oh, ya. Itu pacarnya Nissa! aku hampir saja lupa. Hehe. Nissa melihat
kami masuk dan tersenyum. Kemudian kami saling berpelukan. Aku tersenyum pada
pacarnya dan pacarnya itu balas tersenyum. Untunglah, dia memang terlihat
seperti orang baik.
Setelah itu aku mulai
melakukan sesuatu yang sudah sering aku lakukan di toko buku. Aku mencari
sebuah novel. Aku menemukan dua novel yang ingin aku beli. Stargazer karya
Claudia Gray dan Alice-Miranda on Holiday karya Jacqueline Harvey. Kedua novel
itu adalah lanjutan dari novel yang sudah aku punya. Tapi Stargazer sangat
mahal dan aku tidak membawa uang cukup. Aku benar-benar menginginkannya. Aku
menimbang-nimbang selama beberapa saat. Regina yang sejak tadi ada di sebelah
menatapku bingung.
“Kenapa Fat?” tanya
Regina.
“Bingung Reg, aku
pengen beli dua-duanya tapi uang akunya ga cukup.”
Aku mulai menimbang-nimbang lagi. Akhirnya aku membeli novel
Alice-Miranda on Holiday karena ceritanya yang lebih menarik.
Aku lapar. Aku bilang
pada teman-temanku untuk makan di tempat yang murah.
“Aku traktir deh.”
YEEEE! Mereka semua bersemangat setelah mendengarku berkata
begitu. Kami mmemutuskan untuk makan di KFC. Antriannya cukup panjang. Setelah
beberapa menit, aku memesan paket ayam, nasi, dan minuman untuk 7 orang. Sang
pelayan menyiapkan pesanannya lalu Fajri dan Kak Dandy, yang merupakan pacar
Nissa membantuku untuk membawa makanannya ke meja makan. Ketika aku kembali ke
tempat dudukku, aku menemukan sesuatu yang aneh. Aku menemukan dua buku dalam
kantong plastikku padahal aku yakin tadi aku hanya membeli satu buku.
“Eh, ini buku siapa?” tanyaku. Mereka hanya saling menatap
dan diam. Aku sangat yakin mereka pasti sudah sangat lapar. Ekspresi mereka
memberi tahu segalanya. Aku juga sudah sangat lapar jadi aku mempersilahkan
mereka makan. Tiba-tiba, mereka mulai menyanyikan lagu selamat ulang tahun
dengan cukup keras dan itu sangat memalukan.
Setelah semua orang
selesai makan aku bertanya sekali lagi, “Ini buku siapa?” dan hasilnya sama
seperti tadi, tidak ada jawaban. Mereka semua sibuk dengan kegiatannya
masing-masing. Aku menanyakan hal yang sama sekali lagi, “Ini buku siapa?” mereka
semua melihat ke arahku.
“Coba lihat deh
bukunya.” kata Zalfa. Aku mengeluarkan buku itu dari kantong plastik dan
terkejut.
“Wah, ini siapa yang beli buku Stargazer? Diantara kalian
ada yang baca novel ini juga?” tanyaku. Kagum dengan kenyataan bahwa ada
seseorang yang menyukai novel yang sama denganku. Jujur saja aku jarang sekali
menemukan orang yang suka membaca novel tebal, kebanyakan teman-temanku benci
membaca novel yang tebal.
Fajri, Aldi, Regina,
dan Zalfa tertawa. “Itu punya kamu tau!” kata salah seorang diantara mereka,
aku tidak yakin siapa. Aku diam untuk beberapa saat untuk mencerna apa yang
sedang terjadi.
“SERIUS? Gimana
caranya?” kataku tidak percaya. Aku antara tidak percaya bahwa mereka yang aku
kira tidak berniat memberi kado ternyata memang belum sempat membelinya, dan
tidak percaya bahwa kejutan yang seharusnya begitu jelas terlihat ini tidak
disadari olehku.
“Serius. Waktu kamu
lagi liat-liat buku yang lain, aku sama si Aji sembunyi-sembunyi bayar di kasir
takut keliatan sama kamu. Kelakuan kita tuh udah kaya teroris tau ga? Haha.”
kata Regina diikuti sahutan dan tawa dari yang lainnya.
“Aku sama Regin tadinya mau ngebeliin buku yang Poconggg itu
soalnya lebih murah tapi ngeliat kamu pengen banget sama novel itu yaudah kita
maksa-maksa Aji sama Aldi buat ikut patungan. Hehe.” kata Zalfa. Aku tertawa
sekaligus terharu mendengar penjelasan mereka. Aku tahu Aldi dan Fajri tidak
membawa banyak uang, tapi mereka tetap ikut patungan membeli novel mahal itu.
Mereka baik sekali bukan?
Nissa memberiku sebuah kado yang dibungkus dengan sangat
cantik dan memaksaku untuk membukanya di rumah. Aku tertawa dan mengangguk. Aku
sungguh penasaran dengan isi kado tersebut, tapi aku memutuskan untuk
membukanya nanti.
Setelah acara pemberian kado, Aldi dan Fajri pulang. Aku,
Regina, Zalfa, Nissa, dan Ka Dandy pergi main ke BIP. Aku ingin menonton film
Harry Potter tapi tiketnya sudah habis jadi kami menonton Dylan Dog. Aku,
Regina, dan Zalfa tidak bisa berhenti menggoda Nissa dan Ka Dandy, yang membeli
popcorn untuk berdua, kemudian Ka Dandy juga membayar tiket bioskop untuk
Nissa. Mereka sangat manis namun mereka terlihat sangat canggung seperti kakak
dan adik.
Aku membeli popcorn dan segelas Cappuccino. Kami masuk ruang
teater dan menonton film luar negeri tentang monster itu. Cappuccino hari itu
adalah cappuccino yang manis dan pahit. Aneh sekali kedua rasa itu bisa
berdampingan dan membentuk rasa baru yang sangat fantastis. Aku menyukai kopi
itu dan rasanya masih tidak dapat aku lupakan sampai sekarang.
Aku kembali menatap
surat dari Nissa. Dia menulis surat itu menggunakan bahasa Inggris, dengan arti
yang sangat menyentuh. Aku melihat boneka singa kecil yang aku beri nama leo
yang sekarang berada di kasurku, juga sebuah kotak musik di meja belajarku.
Kedua benda itu adalah hadiah dari Nissa dan hadiah itu membawa memoriku
kembali ke masa ini. Aku kembali membaca surat itu dan sekali lagi aku
memikirkan harapannya untukku, yang sudah pasti akan diharapkan oleh seluruh
orang di dunia ini.
Comments
Post a Comment